Jumat, 23 Agustus 2013

Saat Anak Asyik Bicara dengan Teman Imajinasi ( Ternyata imajinasi anak lebih tinggi dari orang dewasa )

by: http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2013/08/23/saat-anak-asyik-bicara-dengan-teman-imajinasi-586424.html
Ternyata imajinasi anak lebih tinggi dari orang dewasa…Masak sih?… itulah kalimat yang pertama kali terucap saat Majorie Taylor seorang pakar psikologi pendidikan dari Oregon-Amerika menuliskan judul tersebut dalam salah satu jurnalnya. Menurutnya 1/3 dari anak-anak memiliki teman khayalan. Saya membacanya di internet beberapa waktu yang lalu saat menyadari bahwa anak saya suka mengkhayal dan berimajinasi seolah-olah ia berbicara dengan orang lain. sehingga sempat membuat saya panik. Waduh…. Jangan-jangan harus ke psikiater nih…
http://www.bee-health.com/media/images/articles/Meningkat,_Kreativitas_Anak-Anak_di_Era_Digital.jpg

Bagaimana nggak deg-degan… suatu sore anak saya yang biasanya masih belum pulang kandang, alias masih bermain di luar, saya temukan sedang asyik bermain di teras samping rumah. Oh my sweet boy… tumben nih…. dari ruang keluarga saya mendengar dia tidak sendirian karena anak itu seperti bercakap-cakap dengan orang lain. Dari percakapannya ia seperti sedang membahas sesuatu yang berhubungan dengan sekolah dan gurunya.
Ardhi, anak saya mengungkapkan kekesalannya terhadap guru kesenian yang hanya memberinya nilai 7 padahal ia telah berusaha menggambar dengan baik dengan computer. Lalu ia berganti topik membahas makanan kesukaan yang jarang saya belikan..hihihi…memang benar sih… Ardhi sangat suka makan cup mie dalam berbagai rasa. Karena faktor nutrisi dan kesehatan saya memang jarang membelikan cup mie tersebut. Dengan teman bicaranya saya sempat menangkap bahwa menurut dia, saya, ibunya, kurang gaul dan nggak ngapdate… hahaha…. saya sempat berfikir.. ngapdate itu apa maksudnya ya??
Kemarin siang pulang sekolah Ardhi juga tidak main ke lapangan atau bersepeda keliling kampung seperti biasanya, tetapi anak itu malah berada di kamarnya. Di satu sisi saya merasa agak tenang saat mentari berada di atas kepala begini Ardhi memilih untuk tinggal di dalam rumah. Namun di sisi lain kebiasaan barunya seolah berbicara dengan seseorang membuat saya sedikit cemas.


Saat itu juga saya mencari tahu apa yang terjadi dengan anak saya di internet. Pada jurnal psikologi yang diterbitkan British Academy, disebutkan anak usia pra sekolah lebih berpeluang memiliki teman imajinasi dan kebiasaan ini dapat bertahan hingga anak memasuki usia sekolah sekitar 7 tahun. Selain itu anak tunggal maupun anak pertama cenderung lebih berpotensi memiliki teman khayalan di banding anak lain.
Seorang pakar pendidikan Balita mengatakan bahwa seorang teman imajinasi sebenarnya bisa menjadi cara yang bagus bagi anak untuk mengekspresikan dirinya serta membuat anak tidak merasa sendiri atau kesepian karena ia merasa selalu memiliki teman. Teman imajinasi ini sering di sebut IBF (Imaginary Best Friend).
Secara ilmiah, anak yang berbicara sendiri atau memiliki teman khayalan merupakan salah satu fase perkembangan psikologis anak. Menurut referensi psikologi fase ini menunjukkan pencarian jati diri dan tahap anak menguji antara dunia nyata dan khayalan.
Bagaimana kita menghadapi prilaku anak dan teman khayalannya? Ada beberapa saran yang bisa kita terapkan sehingga pada saatnya anak bisa meninggalkan kebiasaannya berbicara dengan teman imajinasinya :
1. Merefleksikan diri apakah selama ini sebagai orang tua kita telah memberi ruang yang cukup bagi anak untuk keseimbangan antara belajar, bermain dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Jangan-jangan prilaku berbicara dengan teman imajinasi di sebabkan karena si anak selalu melakukan aktivitasnya sendiri tanpa ada pendamping yang bisa di pertanggung jawabkan, dalam hal ini orang tua atau ibu dan ayahnya. Atau si anak terlalu di paksa untuk mengikuti jadwal yang sempurna menurut orang tuanya, seperti padatnya jadwal les dan belajar. Seorang anak sangat membutuhkan keseimbangan antara belajar dan bermain. Orang tua harus menyadari hal tersebut dan jika anak merasa tertekan maka ia akan protes dengan caranya sendiri.


2. Memberi kepercayaan kepada anak ; Selama kebiasaan anak berbicara dengan teman imajinasnya tidak menyebabkan anak menarik diri dari pergaulan teman-temannya sebaiknya kita tidak perlu khawatir. Namun jika anak sudah terlalu asyik berinteraksi dengan teman imajinasinya, kita bisa mengupayaka mengalihkan ‘teman imajinasi’ anak dengan cara memberi kepercayaan kepada anak. Menuruti apa yang anak kita inginkan dan meluangkan waktu untuk bersama-sama terlibat langsung berinteraksi dengan anak plus teman imajinasinya, selama tidak melanggar prinsip pendidikan kita, ini adalah salah satu cara membuat anak sedikit demi sedikit mengalihkan perhatiannya kepada teman imajinasinya.
3. Memberikan aktivitas di luar yang menarik; Pada beberapa referensi memang dikatakan bahwa memiliki teman imajiner bisa mempengarugi kekuatan dan keberanian anak saat ia harus melakukan aktivitas sendirian. Namun sejak awal sebaiknya kita lebih mendorong anak untuk melakukan kegiatan di luar seperti bermain bersama teman, les alat musik yang disukainya atau mengajaknya ke club olah raga yang di gemarinya. Saat anak sudah mulai menyukai kegiatan barunya maka sedikit demi sedikit ia akan melupakan teman imajinasinya.
4. Mendukung imajinasi anak; Teman khayalan memang tidak selalu berarti buruk. Pada beberapa kajian dikatakan bahwa memiliki teman khayalan justru bisa mengembangkan kemampuan sosial dan komunikasi anak. Bahkan bisa jadi merupakan tanda kecerdasan dan kemampuan kreatif di atas rata-rata. Rasa khawatir boleh saja saat mengetahui anak kita berbicara dengan teman imajinasinya namun jangan sampai panik atau bahkan latah langsung membawa anak kita ke psikiater untuk melakukan terapi. Hal tersebut akan membuat anak ketakutan. Ada baiknya ia diajak mengembangkan imajinasnya dengan bermain panggung boneka atau menuliskan dalam satu blog yang dibuat khusus untuknya sehingga kemampuannya berimajinasi tersalur dengan baik tanpa harus melibatkan teman khayalannya.
5. Jangan melibatkan ‘teman imajinasi’ dalam kegiatan sehari-hari: sebaiknya tidak melibatkan sang ‘teman imajinasi’ untuk memanipulasi menyelesaikan kegiatan anak, misalnya mengatakan “si Chika aja mau makan sayur , nah kamu makan sayur juga ya..” Tetap bersikap bijak dalam memberi instruksi tanpa harus melibatkan ‘teman imajinasi’ lambat laun akan membuat anak sadar bahwa teman khayalannya tersebut tidak ada.


Orang tua hendaknya aktif memantau perkembangan prilaku anak yang memiliki teman imajinasi. Jika penerapan mengalihkan perhatian anak dari teman imajinasnya dengan memberikan berbagai kegiatan yang sekiranya mampu membuat anak lambat laun melupakan temannya maka kondisi ini sebaiknya dikonsultasikan dengan ahlinya seperti psikiater karena bisa jadi itu adalah salah satu gejala dari spektrum autis.
Menurut beberapa pemerhati psikologi anak, anak yang berbicara dengan teman imajinasi sering dikaitkan dengan anak yang memiliki indra ke enam atau anak indigo. Tetapi sebenarnya ada pola tersendiri atau kriteria diagnosis untuk kasus-kasus seperti ini sehingga sebaiknya kita sebagai orang tua tidak mendiagnosis sendiri.
Satu hal yang pasti bahwa prilaku berbicara dengan teman imajinasi dalam beberapa kurun waktu akan hilang sendiri jika kita tidak menyalahkan anak dan memarahinya, sebaliknya kita harus memberi masukan positif kepada anak dengan bahasa yang mudah dipahami serta buatlah suasana yang menyenangkan bagi anak untuk belajar dan beraktivitas.
Akhirnya saya menyadari memang beberapa waktu terakhir saya terlalu sibuk dengan kepentingan pribadi sehingga melupakan bermain dan berinteraksi dengan Ardhi. Mengajaknya menulis di blog yang sudah saya buatkan khusus untuknya memang membuat ia sedikit melupakan teman imajinasinya. Saya memang harus bersabar untuk membuat anak itu benar-benar melupakan teman imajinasinya yang bernama ‘Chika’ dan memang menulis menimbulkan segembiraan tersendiri bagi Ardhi… Semoga bermanfaat!

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More