Kamis, 22 Agustus 2013

SEBUAH DRAMA= Kisahku, Jadi Istri Muda

Kucium tangan mas Pur, suamiku. Dia mencium keningku, lalu menggandengku. Kami berjalan bersama menuju rumah selepas sholat ied pagi ini. Anak-anak tidak banyak bicara. Hening menyelimuti hati di tengah gema takbir yang berkumandang. Kupandangi anakku, Tasya yang beranjak remaja, dia terlihat lebih dewasa dari anak seusianya yang baru sebelas tahun. Dia menggandeng Vina, adiknya yang baru berusia enam tahun.
http://gambarlucu.org/wp-content/uploads/2013/02/istri-muda.jpg

Ingatanku kembali ke masa-masa indah saat aku jatuh cinta pada mas Pur, klien perusahaan di tempatku bekerja. Mas Pur telah beristri. Usianya terpaut jauh dariku. Tapi, dia begitu membuatku merasa damai. Dan aku bersedia dinikahinya, sekalipun hanya sebagai istri ke dua.
Sebagai karyawan swasta, penghasilan mas Pur tidak besar, tapi cukup untuk menghidupi aku. Aku dikontrakkan sebuah rumah mungil nan asri tidak terlalu jauh dari tempatku bekerja. Saat anak kami Tasya lahir, mas Pur terlihat bahagia. Dia begitu menginginkan memiliki anak perempuan. Karena anak-anak dari istri pertamanya laki-laki semua. Tasya dijadikan alasan baginya agar istri pertamanya menerima kenyataan, kalau mas Pur telah beristri lagi dan memiliki anak dariku. Semula situasi terasa tidak nyaman bagiku. Berkali-kali aku harus menghadapi istri mas Pur yang datang ke rumah berteriak-teriak. Padahal aku belum pulih benar pasca melahirkan. Duh Gusti…
Sepanjang perjalanan waktu, akhirnya istri tua mas Pur berhenti mendatangiku. Mungkin sudah lelah, mungkin juga sudah menerimaku. Entahlah. Tapi mas Pur terlihat berusaha berlaku adil pada kami. Kadang menginap di rumahku, kadang menginap di rumah istri tuanya. Tasya dan Vina, dibesarkan tanpa ayah yang utuh. Ayah yang tidak selalu ada di rumah. Tidak selalu ada saat dia sakit. Tidak selalu ada saat dia naik kelas. Tidak selalu ada saat dia ulang tahun. Tidak selalu ada saat kami membutuhkan mas Pur. Tidak pernah ada bersama kami saat lebaran..


Hingga saat itu tiba. Mas Pur pensiun. Padahal anak-anak masih kecil. Masih butuh banyak biaya. Gajiku sebagai staff administrasi tidak besar. Mas Pur tidak dapat membiayai hidup kami lagi. Apalagi membayari kontrak rumah. Kami harus pindah ke kontrakan yang lebih kecil. Di gang sempit. Bau selokan kadang menyengat. Rasanya menyesakkan. Tapi mau bagaimana lagi. Mas Pur tidak mengijinkan kami mengontrak di luar kota. Padahal harga sewa rumah di Jakarta tak terjangkau bagiku.
Lima tahun sudah aku terperangkap di rumah sempit ini. Anak-anakku tidak seharusnya hidup seperti ini. Aku harus pulang ke Kendari. Demi anak-anak. Mereka harus mendapat lingkungan yang baik. Sekolah yang baik. Tempat tinggal yang layak. Aku harus pulang. Aku tidak perduli dengan mas Pur yang tidak menyetujui rencanaku. Aku sudah tidak tahan lagi. Ini bukan kehidupan yang ingin aku jalani bersama anak-anakku. Aku ingin pulang ke rumah orang tuaku. Tanpa mas Pur.
Hari ini mas Pur merayakan lebaran bersama kami. Ini adalah sholat ied yang pertama dan mungkin yang terakhir bagi kami. “Kamu jadi pergi, Dik?” tanyanya sedih. Aku hanya mengangguk. “Jadi, mas..”
Tak terasa air mata jatuh di pipi saat kami menyantap ketupat bersama-sama. Gurat gurat kerut kesedihan di wajahnya membuatku tak kuasa menahan air mata. Mas Pur menggenggam tanganku. Namun aku tak bisa berlama-lama. Pesawat kami berangkat jam satu siang ini.
Selamat tinggal mas Pur. Selamat tinggal Jakarta…
.
- Esther Wijayanti -
by: http://fiksi.kompasiana.com/drama/2013/08/09/kisahku-jadi-istri-muda-582544.html

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More