by: http://filsafat.kompasiana.com/2013/08/22/peran-hawa-pendorong-dan-akal-585596.html
Hal-hal yang akan mempengaruhi ghain dan ra’in adalah al-khonnaas, dia membisikan penuh daya upaya tipu muslihat melalui gambaran angan-angan, sementara malaikat mengingatkan atas realitas ikrar yang harus dipatuhi nafs melalui ra’in (Qs An-Naas 4-6 : …kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia). Kesetimbangan antara gha’in dan ra’in ini menjadi sinergitas untuk menentukan pilihan kedalam prilaku fasik atau prilaku takwa, dan kecenderungan pilihan ini bergantung pada keberadaan warna prilaku pada posisi hawa, apakah dia berada dalam syahwat, qalb atau memang telah sirna, karena ruh Nya telah hidup.
Sementara aql memberikan referensi saintifik yang telah diketahuinya melalui realitas perjalanan (eksperien) keseharian dan perhitungan (eksperiman) kedepan, dan akal tidak pernah berdusta atas apa yang telah dia ketahui (QS Al-Araaf 66 : …Sesungguhnya kami benar benar memandang kamu dalam keadaan kurang akal dan sesungguhnya kami menganggap kamu termasuk orang orang yang berdusta), Menurut Ibn Khaldun aql adalah timbangan yang benar, hukum – hukum aql meyakinkan dan tidak dikotori oleh dusta, ini memberikan makna obyektifitas aql, sementara kalimat selanjutnya hanya saja, tidak banyak yang diketahui oleh aql, aql yang terbatas mengalami perhentian berpikir sejenak (istirahat) karena keterbatasan pengetahuan, dan aql seumpama seseorang laki – laki yang melihat timbangan emas, lalu berkeinginan untuk menggunakannya menimbang gunung adalah ketika aql telah melihat pengalaman dan keterujian hidup kemudian aql bekerja untuk berpikir dengan melihat sesuatu kedepan untuk memprediksikan dan disinilah mulai bercampur dengan angan – angan.
Peran al-khonnaas masuk pada gha’in melaui al-wahm (angan – angan) dan al-umniyah (mimpi/harapan), ketebalan gambaran dalam al-wahm dan al-umniyah ini memudahkan al-khonnaas untuk hadir secara reflektif memberikan dorongan pada gha’in dan mengembangkan angan – angan sehingga mempengaruhi hawa untuk tetap berada pada syahwat, sementara ra’in mendapatkan bantuan dari malaikat untuk memperkuat fitrah manusia pada hanif dengan memberikan kekuatan pada hawa agar beranjak pada posisi yang lebih baik.
Posisi netral aql pada akhirnya akan didukung atau tidak, kembali pada keberadaan sang pendorong (hawa) untuk menentukan pilihannya, ketika keberadaannya dalam keadaan setimbang yaitu diposisi qalb, maka obyektifitas akal berperan optimal, dan bila kesetimbangan itu terjaga, maka posisi hawa itu linier dengan akal dalam arah yang tegak lurus didalam qalb. (QS Ath Thalaaq 10 : Allah menyediakan bagi mereka azab maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu,.) jika demikian fitrah nafs akan terjaga dalam keadaan hanif.
Untuk menjaga keseimbangan pilihan prilaku diantar akal dan qalb maka diperintahkan untuk berserah diri pada Tuhannya dengan melakukan dzikr, (QS Yunus 25 : Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). Karena dengan dzikr itulah kemudian menghadirkan pertolongan Tuhan melalui malaikat untuk membantu rha’in mangambil peran yang lebih optimal (Qs Al Ahzab 43 : Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman).
Perimbangan kekuatan al-khonnaas pada gha’in dan kekuatan malaikat untuk memperberat rha’in akan kembali pada kesungguhan al-insan dalam melakukan riyadhohnya (Qs Az-zumar 22 : Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah). Mereka itu dalam kesesatan yang nyata), namun demikian riyadhah melalui kalimat udz dzikra ini perlu dilakukan implementasi dalam aktifitas kesalehan. Dan dorongan ini berada pada keyakinan yang kuat melalui beberapa tahapan keilmuan, yaitu al-ilmu pada muslim, Nuur ul bashirah pada mukminin, aenal bashirah pada mukhsinin, haq ul bashirah pada mukhlisin, al-ilm ul yaqin pada muridhin, aen ul yaqin pada mufaridh haq ul yaqin pada mukamil (insan ul kamil).
Ketujuh tingkatan keilmuan tersebut, terbentuk dalam indoktrinasi pada kalimah-kalimah yang terdapat dalam tujuh gerakan sholat yaitu takbir, rukuk, I’tidal, sujjud awal, duduk jalsah, sujjud akhir dan duduk sebelum berdiri atau lebih tegasnya pada kalimah tasyahud awal maupun tasyahud akhir.
Demikian indoktrinasi ini berulang-ulang baik dalam shalat dua raka’at (shubuh atau pun shalat sunnah) shalat tiga raka’at (shalat maghrib atau shalat witir yang tiga raka’at) maupun shalat empat raka’at (shalat dhuhur, ashar dan isya atau shalat sunnat yang dikerjakan empat raka’at seperti shalat qabla dhuhur dan ashar atau shalat sunnat ba’da dhuhur).
0 komentar:
Posting Komentar