Senin, 19 Agustus 2013

Ini kisah tentang perempuan-perempuan terluka, Bukan fiktif tapi nyata ( bukan sekadar bacaan tanpa makna )

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZCNo6fmKawKIVdctkdZ_xH6jCgrPsLfsHzsMo0Hlnc00cVlIbnCaMYl3LJRER5P5q0rpUDvfafp4kM_pzopQ2Dz-36bHolnix8o0KLFUA1WvUu3kI87atoxiL97FPfuGp9S1rnrItFyW2/s320/patah-hati.jpg
Ini kisah tentang perempuan-perempuan terluka. Bukan fiktif tapi
nyata. Menjadi bahan kontemplasi atau renungan, bukan sekadar
bacaan tanpa makna.
Seorang Mawar, sebutlah namanya begitu, dengan berbekal
keyakinan menunggu sang suami yang sudah dua tahun
meninggalkannya. Tanpa alasan yang jelas. Hanya selarik kalimat
pada sms di ponsel, “biarlah mulai saat ini kita menentukan jalan
hidup masing-masing.”
Mawar tinggal bertiga dengan kedua anaknya yang masih sangat
belia. Entah bagaimana caranya menjelaskan kepada kedua
anaknya. Soal nafkah tidaklah jadi persoalan karena toh selama
ini, ialah yang bekerja keras banting tulang menghidupi keluarga.
Sementara sang suami yang dikatakannya seorang wiraswasta
sering tak jelas pekerjaannya. Bukan pria pekerja keras bahkan
kerap memanjakan egonya tapi menuntut banyak pada Mawar
istrinya.
“Buatku menikah itu hanya sekali seumur hidup, Mbak. Saya
memang kecewa pada suami…saya terluka. Tapi saya akan
menunggunya pulang untuk menjelaskan langsung mengapa ia
meninggalkan saya dan anak-anak,” ceritanya dengan airmata
menggenang di pelupuk.
Saya tak hendak menceramahinya, meski saya sulit memahami
jalan pikirannya. Sudah dua tahun dan ia membiarkan begitu saja
keadaan itu. Ia perempuan berpendidikan tinggi, tapi dalam soal
pernikahan pola pikirnya saklek (orang Jawa bilang), atau konservatif.
Hatinya terluka tapi ia memaafkan. Hatinya terluka, tapi hatinya tidak ingin memindahkannya pada pria lain. Hatinya terluka sebagai perempuan yang mencintai suaminya.
Adalah Melati, memilih diceraikan suami karena makin sulit menerima perubahan perilaku sang suami. Dulu, Melati mengenal sang suami sebagai orang yang menerima keadaan dengan sabar. Bahkan sang suami kerap mengingatkannya untuk lebih bersabar.
Namun sejak karier sang suami naik menjulang, diiringi perubahan yang mencolok pada perilakunya. Terlalu banyak sanjungan membuatnya lupa diri. Terlalu banyak kemudahan, membuat dirinya merasa hebat.
Melati terluka karena ternyata kemudian sang suami berpaling. Pantaslah jika kemudian beberapa waktu terakhir, sang suami mulai bersikap sembunyi-sembunyi. Ponsel di-password. Tengah malam asik memainkan ponsel pintar entah sedang komunikasi dengan siapa di malam hari. Jika didekati sikapnya merasa jengah.
Ia terluka karena sang suami menudingnya sebagai istri yang tidak patuh pada suami. Ia terluka karena sang suami yang amat dicintainya berubah dan mengkhianatinya.
Namun, hati perempuannya menyisakan rasa kasih sayangnya. Jikapun harus berpisah, bukankah lebih indah perpisahan dengan sikap tanpa permusuhan?
Perempuan, yang sudah terhina, yang sudah terluka, masih saja di hatinya penuh maaf. Seorang teman bercerita, ayahnya memohon kembali pada keluarga setelah 15 tahun meninggalkan begitu saja sang ibu tanpa tanggung jawab. Tidak dinafkahi, tidak juga diceraikan. Namun sang ibu memaafkan dan menerima kembali sang ayah karena hati sang ibu selalu untuk ayah dan karena keyakinannya terbukti bahwa sang ayah kembali kepadanya.
Hati perempuan, betapapun terlukanya sanggup memaafkan pria yang dicintainya. Betapapun terlukanya, tidak tertinggal dendam di hatinya meski memilih jalan berpisah.
Cerita tentang perempuan terluka karena pria yang dicintainya akan terus bergulir. Ada yang memilih bertahan dalam perkawinan meski itu terus menerus menyakitinya. Ada yang memilih berpisah, meski itu menghancur leburkan hatinya.
by: http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2012/05/29/perempuan-perempuan-terluka-465644.html

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More