Sabtu, 24 Agustus 2013

Keluargaku, Semangat Masa Depanku ( Kiriman Dari Yuliwarni@ymail.com )


http://evelynpy.files.wordpress.com/2007/09/_my_happy_family__by_g_rougeholicdoll.jpg
Sekarang aku telah berusia 21 tahun menginjak 22 tahun selama itu pula kisahku berjalan. Aku hidup dalam keluarga yang begitu serba berkecukupan, dimana ayahku seorang lulusan Sarjana Hukum yang berketurunan China yang tinggal di Jawa Barat dan Ibuku adalah ibu rumah tangga berdarah Jawa Tengah. Entah bagaimana Beliau dipertemukan dengan perbedaan jarak yang jauh karena aku pun tak pernah menanyakan hal itu kepada kedua orang tuaku. Aku anak pertama dari dua bersaudara, hidup kami begitu bahagia, ya …. Itu yang aku rasakan selama 10 tahun.

“ Pak, nanti pingin les piano, berenang, hmm apalagi ya?” ( pikirku sambil berkata kepada Bapak). “ Pingin les sempoa terus pingin jadi dokter anak ya pak,” Pintaku

“ Ya..ya nanti mau  les apa aja juga boleh yang penting lakukan dengan sungguh – sungguh “. Jawab Bapak kepadaku. “ Mau hadiah dari Bapak ga? Tapi jawab dulu pertanyaan Bapak ya Nak.” Rayu Bapak

“ Apa pak?”. Tanyaku penasaran sambil berbaring dekat ketiak Bapak yang menurutku itu hal yang begitu menyenangkan.

“ Suatu ketika ada pemuda yang melewati sebuah jembatan lalu pemuda itu melihat dua buah permata dan sebuah sungai. Coba tebak gambar apa yang ada dalam cerita tadi ?”. Tanya Bapak. Sambil menguatkan pelukannya sehingga aroma badannya begitu melekat dihidungku. Aku mencoba berfikir keras demi sebuah hadiah yang Bapak janjikan kepadaku.

“ Wajah manusia Pak. Jembatan itu hidung, dua permata itu mata dan satu sungai itu mulut.” Jawabku

“Anak pintar.” Kepalaku dielus dengan begitu sayangnya. Bapak pun mengeluarkan uang        Rp 5.000,- dan diberikan kepadaku. Aku begitu senang dan aku pun lupa uang itu aku belikan apa.

Kehidupan yang serba berkecupan membuat Bapak akhirnya memutuskan aku untuk ikut les sempoa terlebih dulu. Tapi aku tetap meminta les yang lain yang aku inginkan kemarin. Semua berjalan seperti biasanya hingga usiaku 11 tahun dan waktu itu aku duduk di kelas 6 SD di Bandung, Ibu mengajak aku ke sebuah wartel dekat rumahku dan tidak ada rasa aneh atau curiga sedikit pun dalam hatiku.

“ Mau telpon sapa Bu?”. Tanyaku

Ibu tidak menjawab pertanyaanku, Beliau hanya memijit 6 digit angka dengan wajah yang sendu.

“ Bapak meninggal, mah”. Terlihat air mata hampir keluar dari mata ibu dengan nada bicara yang berat karena menahan air mata kepada nenek.

Hatiku bagai terpecah belah mendengar hal itu. Apa itu benar? Ini kenyataan Ya Allah. Usiaku baru 10 tahun dan adikku 7 tahun, bagaimana dengan kami? Secepat itu Bapak pergi meninggalkan kami. Saat itu aku merasa bingung, ingin melakukan sesuatu tapi aku bisa apa? Hanya bisa melihat ibu yang begitu sedih. Baru aku tahu bila pernikahan kedua orang tuaku tidaklah direstui oleh kakek dan nenek Bapak.

Tepat di tanggal 14 Februari 2002 aku melihat Bapak terakhir kalinya, aku tak mampu menjawab tebakan dari Bapak dan aku tak mampu menagih janji Bapak kepadaku. Bapak begitu berarti, tak pernah sekali pun Bapak memarahi aku ataupun adikku meskipun melakukan kesalahan. Kami pun tak bisa berlama lama di rumah Nenek dan kakek yang begitu membenci Ibuku. Tak ada air mata yang aku keluarkan dari mataku hingga pemakaman Bapak selesai, aku merasa sedih tapi aku tak mampu menangis karena aku masih berharap ini adalah sebuah mimpi buruk yang datang lalu Bapak pun terbangun.

Tanggal 17 Februari 2002 Ibu memutuskan untuk pindah ke tempat kelahiran Ibu. Di sebuah desa yang jauh dari kata ”Ramai” padahal saat itu aku terpilih menjadi salah satu Finalis  Docil    ( Dokter Kecil ) di Sekolah, mimpi menjadi dokter yang selalu aku inginkan.

Di  desa Ibu merawat aku dan adiku seorang diri. Kehidupan kami pun berubah 360 derajat, tidur disebuah rumah berbilik yang bersebelahan dengan kandang ayam dimana detiap bilik kamarku dihinggapi binatang penghisap darah dan orang Jawa menyebutnya “ Tinggi” dan kutu ayam “ Merki “.  Bila merki menenai badan maka badan kita terasa seperti dikerubuni oleh semut merah karena bentuk mereka yang kecil dan begitu gatal. Setiap malam aku tidak bisa tidur dengan nyenyak, Ibu selalu bangun tengah malam untuk sujud menghadapMu dan membunuh tinggi – tinggi yang mulai menggigiti tubuhku.

 Ibu pun harus berjualan es lilin selain membiasakan untuk pergi ke sawah untuk bertani, Sebagian besar penduduk desa adalah bertani, kegiatan yang telah ditinggalkan Ibu mungkin 15 tahun bahkan 20 tahun yang lalu semata - mata agar dapat menghidupi dan membiayai sekolahku dan adikku yang duduk di kelas 4 SD.  Ibu harus membawa berkilo - kilo beras dipunggungnya meskipun panas atau hujan. Jalan yang ditempuh juga harus naik dan turun.

Tidak pernah tersirat rasa malu dibenak aku dan adikku. Ibu selalu menemaniku dan adikku kapanpun terutama di sekolah baruku. Setiap pergi sekolah aku tak bisa minta lebih kepada Ibuku sehingga uang Rp 100 menjadi bekalku selama satu hari. Ya,, waktu itu hanya dapat aku belikan 2 buah permen. Tapi  yang terpenting aku masih bisa sekolah.

“ Nak, kalau sudah lulus lebih baik bantu Ibu di Sawah saja ya?”. Ibu berkata dengan berkaca – kaca

Aku bingung harus menjawab apa karena aku tahu perasaan Ibu seperti apa.

“ Syifa doakan Ibu dapat rejeki “. Jawabku.

Setelah kejadian itu aku terus bertanya-tanya apa aku masih bisa masuk SMP dan sekolah?

Hingga kelulusan pun tiba,aku mendapat nilai yang baik bahkan semua guru mendukung agar aku masuk di SMP Negeri. Aku selalu diikutsertakan bila di sekolah mengikuti lomba, aku sempat mendapat juara 3 untuk lomba synopsis pada waktu itu. Sayang Bapak tidak ada bersamaku. Aku juga tak pernah berziarah ke makam Bapak karena jarak, tapi aku selalu mendoakan Bapak.

“ Besok syfia diantar kak Ulfa ma kak Hani ya buat daftar di sekolah baru Syifa.” Ibu berkata kepadaku

“Jadi Syifa besok bisa daftar di SMP Bu?”, mataku terbuka lebar

“Ya Syifa.” Kata Ibu

“ Alhamdulillah,” Kataku ( kupeluk Ibu ). Baju SD ku menjadi kotor karena baju Ibu yang baru pulang dari sawah dan belum sempat ibu ganti. Aroma sawah pun masih terasa melekat dibadan Ibu. Entah Ibu mendapatkan uang dari mana dan aku pun tidak menanyakan hal itu, yang ku rasakan adalah begitu senang dan bersyukur dalam sujudku kepada Mu Ya Allah.

“ Ini uang saku mu nak.” Ibu memberikan selembar uang  Rp 500 sebagai bekalku.

Tidak apa-apa yang terpenting aku masih bisa sekolah. Karena desaku  jauh dari sekolah SMP dan Ibu tidak mungkin membelikan aku sepeda motor maka aku pun harus berjalan terlebih dahulu. Jarak dari rumah ke sekolah tidak terlalu jauh mungkin + 3,5 km, bersama teman-teman aku pergi ke sekolah sehingga tidak terasa berat. Aku harus selalu bangun pagi agar ke sekolah tidak terlambat, aku juga jarang memakai bedak ke sekolah seperti anak –anak sekarang karena bedak yang kupakai pasti tersapu oleh keringatku. Minyak wangi aku pakai ketika sampai dikelas agar menyamarkan bau keringatku.

“ Kita jajan dulu yuk , haus ni. Hari ini panas banget” Ajak salah satu teman ku saat kita berjalan pulang dari sekolah

“ Ya udah aku jalan duluan saja ya teman-teman.” Kataku ( lebih baik uang Rp 500 ) aku tabungkan untuk membantu Ibu.

Ibu harus bekerja menjadi baby sister karena bekerja sebagai buruh tani dan penjual es lilin itu kurang begitu mencukupi. Ibu selalu berangkat pagi – pagi dan pulang menjelang maghrib, Tak tega aku melihat Ibu bekerja banting tulang untuk aku dan adikku. Suatu malam aku perlhatkan tas baru ku kepada Ibu. Uang Rp 500 itu bisa menjadi sebuah tas sekolah.

“ Bu, uang tabunganku aku  belikan tas baru.” Kataku dengan bangganya

“Maaf  Ibu belum bisa membelikannya.” Kata Ibu

“Ga papa Bu, Syifa bisa menabung,” Menghibur Ibu

 Jadi aku tidak usah meminta kepada Ibu. Saat hujan lebat membuat sepatu sekolah ku basah, karena hanya ada satu maka Ibu selalu megeringkan sepatu aku di atas tungku tempat Ibu memasak. Ibu selalu menunggu sampai sepatuku kering. Cara itu begitu ampuh meskipun membuat sepatuku jadi agak bau, tapi yang penting masih bisa aku pakai untuk pergi ke sekolah. Suatu ketika aku ikuti cara Ibu tetapi sebagian sepatuku jadi terbakar. Sempat jadi bahan tertawaan di sekolah tapi ya sudahlah.

Karena selalu berjalan maka bagian bawah sepatuku menjadi rusak, kuambil kardus karena bahannya yang cukup tebal  lalu aku gunting bagian kardus itu untuk menambal bagian bawah sepatuku. Bila kardus itu rusak maka ku ganti dengan yang baru. Sampai beberapa minggu kulakukan hal itu. Tidak ada keberanian dalam diriku untuk mengatakan hal ini kepada Ibu hingga Ibu mengetahuinya sendiri. Harus menunggu Ibu mendapatkan gajinya baru dapat diganti dengan yang baru.

Aku menyukai pelajaran Bahasa Indonesia sewaktu SMP. Saat itu ada tugas membuat puisi dan yang terbaik akan dibacakan didepan kelas. Aku membuat puisi yang berjudul Ayah dan puisiku menjadi puisi yang terbaik. Aku terpilih mewakili sekolahku untuk Olimpiade Matematika dan Lomba Puisi semua aku lakukan untuk Ibu dan Bapak. Beasiswa yang diberikan kepadaku membuat Ibu tidak begitu berat membiayai sekolah aku. Ibu adalah seorang pekerja keras demi anak – anaknya, Terkadang aku merasa sedih bila saatnya penerimaan rapor, Ibu tak pernah bisa datang untuk menrima rapor ku karena Ibu harus bekerja.

Pernah Ibu jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit  karena terlalu capek, aku takut hal buruk terjadi pada Ibu. Aku mengambil alih pekerjaan Ibu,mulai dari bangun lebih pagi mencuci, memasak, menyiapkan segala keperluan adikku. Berangsur Ibu pun pulih kembali, aku menjual kalung emas putih yang seminggu lalu Ibu belikan untukku dari uang tabungan Beliau yang penting Ibu dapat sembuh dan  dibawa pulang kerumah.

Waktu terus berjalan dan aku berjanji pada diriku bahwa aku mampu memberikan yang terbaik untuk orang tuaku. Untuk Bapak dan juga Ibu, aku tidak bisa memberikan harta dan juga benda tetap berprestasi sebagai salah satu caraku untuk berbakti kepada kedua orang tuaku. 3 Tahun aku lewati di SMP hingga aku masuk ke salah satu SMK.Lulus dengan hasil yang terbaik. Sekarang aku ingin membuktikan kepada Ibu bahwa usaha Ibu tidak pernah sia – sia. Kini aku telah bekerja di salah satu perusahaan swasta di Bandung dan kuliah di salah satu Universitas di Bandung semester 6. Adikku telah bekerja di perusahaan swasta di Jakarta dan akan meneruskan sekolahnya juga. Semua berkat doa dan kasih sayang Ibu kepada kami, Disini juga aku lebih dekat bila ingin berziarah ketempat Bapak. Aku akan terus berusaha demi Ibu dan Bapak, akan aku belikan sebuah kalung emas putih sebagai bagian kecil dari rasa terimakasihku ketika aku mengunjungi Ibu nanti.

Mungkin cerita seperti ini telah banyak kita dengar tapi bagiku ini pengalaman yang begitu berharga. Karena Allah Maha Segalanya yang selalu memberiku dan keluargaku rezeki yang berlimpah.
Kiriman Dari
Nama : Yuli Warni
No Hp : 081809616020
Email : Yuliwarni@ymail.com
Diterbitkan Oleh: bagindaery.blogspot.com
Ingin cerpen, artikel / kisah anda dan hasil karya tulis anda tampil seperti tulisan diatas, kirim yuk tulisan anda ke email: bagindaery@gmail.com 

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More